Sunday, May 6, 2018

Cerpen - Ukhuwah Fillah Till Jannah

(Ilustrasi oleh Fadhis/SM) Ditakdirkan untuk bersama dalam menjalani ukhuwah dengan mereka merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Aku pun sangat mendambakan sahabat-sahabat
Oleh: Indah Siti Nurazizah

Ditakdirkan untuk bersama dalam menjalani ukhuwah dengan mereka merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Aku pun sangat mendambakan sahabat-sahabat yang bisa membimbingku tak hanya di dunia namun hingga surga-Nya kelak. Berkumpul dengan orang-orang yang shalihah, orang-orang yang terpilih, mereka mementingkan akhirat dibandingkan dunia. Lisannya yang selalu basah dengan dzikir dan hatinya selalu bersih karena kebaikan. Allah telah hadirkan mereka untuk membimbingku.

Tahun ajaran baru dimulai, aku Ghea Ananda Paramitha, dan kini masih duduk dibangku kelas 2 SMA di mana orang selalu menganggap fase itu merupakan fase remaja yang ingin tahu segalanya, dan keraguan selalu menyertainya. Begitu pun denganku, aku saat ini tengah diambang kelabilan.

Seminggu yang lalu aku diajak oleh Rena, dia sahabatku. Ia mengajak aku ke sebuah Majelis Ta’lim di komplek kami. Jujur saja, aku dikenal sebagai orang yang sangat tidak peduli dengan sekitar, bahkan tidak tahu ada kajian setiap ba’da magrib di komplek. Hari itu dengan terpaksa aku mengikuti ajakan Rena untuk mengaji di majelis tersebut. Aku duduk di samping Rena dengan wajah acuh, bosan dan mungkin yang melihatku akan merasa jengkel.

Ayah dan ibuku memang jarang memberiku pelajaran mengenai keagamaan, lebih miris lagi aku tahu salat hanya dari guru agama di SD. Menyedihkan bukan? Memang. Aku pahami semua itu, mungkin saja orang tuaku sibuk, atau mereka memang tidak peduli denganku.

Sudah lima bulan orang tua aku menetap di Malaysia. Mereka sementara tinggal di sana untuk mengurusi bisnis yang tidak bisa ditinggalkan. Sebenarnya aku diajak, tapi tidak mau, aku malas jika harus menyesuaikan diri dengan teman-teman baru di sana.

Malam itu aku bersama temanku, dengan waktu yang cukup lama membuka kitab suci Al-Qur’an. Membacanya pun dengan rasa malu yang begitu hebat. Aku pun kembali melihat sekitar dan semua terlihat begitu fasih membacanya. Sedangkan aku? Aku membacanya dengan terbata-bata seolah-olah gagu.

“Tidak apa Ghea, kita sama-sama belajar,” tutur Rena, meyakinkanku untuk kembali membaca Al- Qur’an.

Seruan adzan Isya berkumandang, semua menghentikan aktivitasnya termasuk melafalkan Al-Qur’an. Setelah itu, semuanya bersiap-siap mengambil shaf untuk salat. Kembali aku terdiam, sebegitu tuli kah aku selama ini? ketika mendengar adzan aku acuh dan tidak segera menunaikan sholat. Kemana saja aku ini?

Hari itu terlewati dan hari-hari berikutnya aku kembali menghadiri pengajian tersebut. Ada yang menarik hatiku, menamparku, dan membuatku tersadar. Bersama malam yang sunyi, aku duduk di pelantaran masjid menikmati angin yang menerpa dengan lembut. Hingga Rena duduk disampingku.

“Tenang bukan?” Rena membuat posisi yang nyaman.

Aku hanya tersenyum.

“Aku tahu kamu terpaksa mengikuti kajian ini, enggak nyaman. Ketahui lah Ghea, Allah sudah membuka pintu hidayah untukmu. Aku lihat kamu menerima semua itu.” ujarnya lagi.

Aku menyeringit tak paham. “Maksudmu?”

“Ghea, jujur saja aku mengajakmu mengikuti kajian ini untuk membuatmu tenang, sejenak mengingat Tuhan dibandingkan masalah-masalahmu yang tidak kunjung usai. Membuat lisanmu basah karena ayat suci Al-Qur’an dibanding karena sumpah serapah yang selalu kamu lontarkan. Ghea, apapun yang akan terjadi nanti aku harap kamu mau menerima hidayah Allah. Aku senang dengan penampilanmu yang sekarang, meskipun tidak engkau terapkan dalam kehidupan sehari-harimu. Namun dengan menutup aurat, kamu terlihat lebih cantik. Lebih bahagia adalah aku melihatmu tersenyum malam ini.”

Perlahan dadaku mulai berdesir mencerna apa yang Rena katakan dan semua benar. Aku akhir-akhir ini sibuk memikirkan masalahku dengan ibu dan ayah, dan yang lebih parah adalah mementingkan dunia dibandingkan akhirat.

“Kemana saja aku selama ini Ren?” tiba-tiba saja air mata ini berderai.

“Ghea, tidak ada yang terlambat.  Jika kamu ingin memulainya aku akan menemanimu dalam setiap langkahmu memastikan agar kamu benar-benar di jalan yang Allah ridai. Ghea, ukhuwah itu hadir karena keikhlasan dan aku ikhlas menemanimu. Aku tahu mungkin ini sulit tapi dengan bismillah, dan niat karena Allah Ta’ala aku yakin kamu pasti bisa.”

Malam itu aku bertekad dan berjanji kepada diriku bahwa aku ingin berubah, aku ingin memperbaiki diriku. Aku memeluk Rena dengan erat dan deraian air mata itu tidak kunjung berhenti.

Esoknya aku sekolah seperti biasa, aku dibalut dengan jilbab yang menjulur panjang menutupi setengah badanku dan yang aku rasakan adalah nyaman. Sungguh nikmat Allah itu ada dan itu nyata. Walaupun begitu, tidak semua orang senang dengan perubahan yang terjadi denganku.

Perlahan teman yang selalu bersama-sama denganku mulai menjauhi aku. Orang-orang melihatku dengan tatapan risih. Memandangku dengan tatapan heran. Memang, aku akui sebelumnya mulutku tajam didukung oleh tatapan seperti membunuh membuat semua orang segan kepadaku.

Aku mencoba tidak mempedulikan semuanya dan tetap menyapa mereka dengan senyuman. Tapi, lagi-lagi mereka melihatku aneh, menjauh seolah-olah aku asing bagi mereka. Semuanya hanya bisa aku terima dengan lapang dada, ada kalanya air mata ini menetes dan aku mampu menghadapi semuanya. Ya, aku pasti mampu, bismillah.

Karena inilah kemauanku, ini keputusanku. Hidayah itu dijemput, bukan ditunggu dan aku menjemput hidayahku dengan cara mengikhlaskan orang-orang yang menjauhiku dan menghujatku. Aku bersyukur Allah memberikan hidayah dengan cara yang begitu indah. Aku memang kehilangan mereka semua, tapi Allah menggantikannya dengan rahmat yang luar biasa dan aku merasakan semua itu dalam perjalanan hijrah ku ini .

Hingga Rena datang dan menguatkan ku kembali.  “Memang awalnya akan pahit, tapi nanti juga akan manis.” Ia merangkulku dengan hangat.

“Terima kasih Rena, tetaplah menemani dalam setiap langkah hijrahku. Jangan bosan untuk selalu mengingatkan ku dalam hal kebaikan,” ucapku bersama derasan air mata.

“Iya Ghea. Sebab dalam ukhuwah kita juga harus berdakwah. Dakwah itu mengajak, bukan mengejek. Mempersatukan bukan memper-satu-satu-kan. Dakwah lahir dari jiwa, bermuara dari cinta. Cinta yang akan berbuah surga-Nya.” Rena menghapus air mata di pipiku.

“Aku bersyukur telah dipertemukan denganmu. Sebab tidak semua orang dapat sahabat sepertimu Rena.”

“Ghea, ukhuwah itu seutuhnya tentang rindu. Rindu yang membuat selalu tidak sabar untuk bertemu, membuat terasa rugi jika tak berbagi. Ini adalah tentang hati, hati yang terkait, tentang doa-doa yang tertaut. Jadi mari kita sama-sama menggapai Rida-Nya agar sama-sama dijannah-Nya.”

Ya, mengenai ukhuwah mereka ada untuk mengubah, entah baik atau tidak. Mengenai hijrah, itu adalah pilihan. Pilihan kamu bisa membawa dirimu menuju kebaikan. Ya, inilah ukhuwah Fillah Till Jannah, mereka terasa rumit untuk diungkap tetapi nyata dalam kata sederhana,  mereka dalam untuk diselami karena mereka adalah iman yang berupa makna. Terima kasih Rena, karenamu Surga terlihat nyata.(Text, Indah Siti Nurazizah) 


Just Info genk, Text ini real buatan ku tapi ini sebelumnya dishare di LPM Suara Mahasiswa yang saya ikuti. Jadi just repost Thanks udah baca yaaaaa:)



untuk melaksankan ukuwah dan talisilahturahmi mari berteman FOLLOW - @Nurazizahindah. Syukran, kritik dan pesan silakan langsung mention ke Twitter ajah ya. Makasih :D

No comments:

Post a Comment

Kelak, Allah akan hadirkan dia diwaktu yang tepat

cover image by Nurazizahindah Indah Siti Nurazizah   Aku hanya menjadi pereda rasa sakitnya,  bukan menjadi obat penyembuh dari...