(Ilustrasi oleh Fadhis/SM) Ditakdirkan untuk bersama dalam menjalani
ukhuwah dengan mereka merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Aku pun
sangat mendambakan sahabat-sahabat |
Oleh: Indah Siti Nurazizah
Tahun ajaran baru dimulai, aku Ghea Ananda Paramitha, dan kini masih
duduk dibangku kelas 2 SMA di mana orang selalu menganggap fase itu
merupakan fase remaja yang ingin tahu segalanya, dan keraguan selalu
menyertainya. Begitu pun denganku, aku saat ini tengah diambang
kelabilan.
Seminggu yang lalu aku diajak oleh Rena, dia sahabatku. Ia mengajak
aku ke sebuah Majelis Ta’lim di komplek kami. Jujur saja, aku dikenal
sebagai orang yang sangat tidak peduli dengan sekitar, bahkan tidak tahu
ada kajian setiap ba’da magrib di komplek. Hari itu dengan terpaksa aku
mengikuti ajakan Rena untuk mengaji di majelis tersebut. Aku duduk di
samping Rena dengan wajah acuh, bosan dan mungkin yang melihatku akan
merasa jengkel.
Ayah dan ibuku memang jarang memberiku pelajaran mengenai keagamaan,
lebih miris lagi aku tahu salat hanya dari guru agama di SD. Menyedihkan
bukan? Memang. Aku pahami semua itu, mungkin saja orang tuaku sibuk,
atau mereka memang tidak peduli denganku.
Sudah lima bulan orang tua aku menetap di Malaysia. Mereka sementara
tinggal di sana untuk mengurusi bisnis yang tidak bisa ditinggalkan.
Sebenarnya aku diajak, tapi tidak mau, aku malas jika harus menyesuaikan
diri dengan teman-teman baru di sana.
Malam itu aku bersama temanku, dengan waktu yang cukup lama membuka
kitab suci Al-Qur’an. Membacanya pun dengan rasa malu yang begitu hebat.
Aku pun kembali melihat sekitar dan semua terlihat begitu fasih
membacanya. Sedangkan aku? Aku membacanya dengan terbata-bata
seolah-olah gagu.
“Tidak apa Ghea, kita sama-sama belajar,” tutur Rena, meyakinkanku untuk kembali membaca Al- Qur’an.
Seruan adzan Isya berkumandang, semua menghentikan aktivitasnya
termasuk melafalkan Al-Qur’an. Setelah itu, semuanya bersiap-siap
mengambil shaf untuk salat. Kembali aku terdiam, sebegitu tuli
kah aku selama ini? ketika mendengar adzan aku acuh dan tidak segera
menunaikan sholat. Kemana saja aku ini?
Hari itu terlewati dan hari-hari berikutnya aku kembali menghadiri
pengajian tersebut. Ada yang menarik hatiku, menamparku, dan membuatku
tersadar. Bersama malam yang sunyi, aku duduk di pelantaran masjid
menikmati angin yang menerpa dengan lembut. Hingga Rena duduk
disampingku.
“Tenang bukan?” Rena membuat posisi yang nyaman.
Aku hanya tersenyum.
“Aku tahu kamu terpaksa mengikuti kajian ini, enggak nyaman. Ketahui
lah Ghea, Allah sudah membuka pintu hidayah untukmu. Aku lihat kamu
menerima semua itu.” ujarnya lagi.
Aku menyeringit tak paham. “Maksudmu?”
“Ghea, jujur saja aku mengajakmu mengikuti kajian ini untuk membuatmu
tenang, sejenak mengingat Tuhan dibandingkan masalah-masalahmu yang
tidak kunjung usai. Membuat lisanmu basah karena ayat suci Al-Qur’an
dibanding karena sumpah serapah yang selalu kamu lontarkan. Ghea, apapun
yang akan terjadi nanti aku harap kamu mau menerima hidayah Allah. Aku
senang dengan penampilanmu yang sekarang, meskipun tidak engkau terapkan
dalam kehidupan sehari-harimu. Namun dengan menutup aurat, kamu
terlihat lebih cantik. Lebih bahagia adalah aku melihatmu tersenyum
malam ini.”
Perlahan dadaku mulai berdesir mencerna apa yang Rena katakan dan
semua benar. Aku akhir-akhir ini sibuk memikirkan masalahku dengan ibu
dan ayah, dan yang lebih parah adalah mementingkan dunia dibandingkan
akhirat.
“Kemana saja aku selama ini Ren?” tiba-tiba saja air mata ini berderai.
“Ghea, tidak ada yang terlambat. Jika kamu ingin memulainya aku akan
menemanimu dalam setiap langkahmu memastikan agar kamu benar-benar di
jalan yang Allah ridai. Ghea, ukhuwah itu hadir karena keikhlasan dan
aku ikhlas menemanimu. Aku tahu mungkin ini sulit tapi dengan bismillah,
dan niat karena Allah Ta’ala aku yakin kamu pasti bisa.”
Malam itu aku bertekad dan berjanji kepada diriku bahwa aku ingin
berubah, aku ingin memperbaiki diriku. Aku memeluk Rena dengan erat dan
deraian air mata itu tidak kunjung berhenti.
Esoknya aku sekolah seperti biasa, aku dibalut dengan jilbab yang
menjulur panjang menutupi setengah badanku dan yang aku rasakan adalah
nyaman. Sungguh nikmat Allah itu ada dan itu nyata. Walaupun begitu,
tidak semua orang senang dengan perubahan yang terjadi denganku.
Perlahan teman yang selalu bersama-sama denganku mulai menjauhi aku.
Orang-orang melihatku dengan tatapan risih. Memandangku dengan tatapan
heran. Memang, aku akui sebelumnya mulutku tajam didukung oleh tatapan
seperti membunuh membuat semua orang segan kepadaku.
Aku mencoba tidak mempedulikan semuanya dan tetap menyapa mereka
dengan senyuman. Tapi, lagi-lagi mereka melihatku aneh, menjauh
seolah-olah aku asing bagi mereka. Semuanya hanya bisa aku terima dengan
lapang dada, ada kalanya air mata ini menetes dan aku mampu menghadapi
semuanya. Ya, aku pasti mampu, bismillah.
Karena inilah kemauanku, ini keputusanku. Hidayah itu dijemput, bukan
ditunggu dan aku menjemput hidayahku dengan cara mengikhlaskan
orang-orang yang menjauhiku dan menghujatku. Aku bersyukur Allah
memberikan hidayah dengan cara yang begitu indah. Aku memang kehilangan
mereka semua, tapi Allah menggantikannya dengan rahmat yang luar biasa
dan aku merasakan semua itu dalam perjalanan hijrah ku ini .
Hingga Rena datang dan menguatkan ku kembali. “Memang awalnya akan
pahit, tapi nanti juga akan manis.” Ia merangkulku dengan hangat.
“Terima kasih Rena, tetaplah menemani dalam setiap langkah hijrahku.
Jangan bosan untuk selalu mengingatkan ku dalam hal kebaikan,” ucapku
bersama derasan air mata.
“Iya Ghea. Sebab dalam ukhuwah kita juga harus berdakwah. Dakwah itu
mengajak, bukan mengejek. Mempersatukan bukan memper-satu-satu-kan.
Dakwah lahir dari jiwa, bermuara dari cinta. Cinta yang akan berbuah
surga-Nya.” Rena menghapus air mata di pipiku.
“Aku bersyukur telah dipertemukan denganmu. Sebab tidak semua orang dapat sahabat sepertimu Rena.”
“Ghea, ukhuwah itu seutuhnya tentang rindu. Rindu yang membuat selalu
tidak sabar untuk bertemu, membuat terasa rugi jika tak berbagi. Ini
adalah tentang hati, hati yang terkait, tentang doa-doa yang tertaut.
Jadi mari kita sama-sama menggapai Rida-Nya agar sama-sama
dijannah-Nya.”
Ya, mengenai ukhuwah mereka ada untuk mengubah, entah baik atau
tidak. Mengenai hijrah, itu adalah pilihan. Pilihan kamu bisa membawa
dirimu menuju kebaikan. Ya, inilah ukhuwah Fillah Till Jannah, mereka
terasa rumit untuk diungkap tetapi nyata dalam kata sederhana, mereka
dalam untuk diselami karena mereka adalah iman yang berupa makna. Terima
kasih Rena, karenamu Surga terlihat nyata.(Text, Indah Siti Nurazizah)
Just Info genk, Text ini real buatan ku tapi ini sebelumnya dishare di LPM Suara Mahasiswa yang saya ikuti. Jadi just repost Thanks udah baca yaaaaa:)
untuk melaksankan ukuwah dan talisilahturahmi mari berteman FOLLOW - @Nurazizahindah. Syukran, kritik dan pesan silakan langsung mention ke Twitter ajah ya. Makasih :D
No comments:
Post a Comment