Indah matanya sejuk tatapnya, lembut tutur nya menentramkan
jiwa. Diam. Haruskah banyak kata yang diucapkan ketika kita mencitai seseorang?
Bagiku tidak. Cukup mencintainya dalam diam itulah cinta yang terhormat.
Mungkin disaat semua orang sibuk merebut semua perhatianmu, aku hanya bisa
diam. Diam ditepian hatimu, menanti celah itu terbuka.
Mungkin sesekali kau meliriku dan
mungkin kau bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya aku inginkan
sesungguhnya. Ketahuilah wahai pemuda impianku, aku tidak ingin apa-apa bahkan
dirimu. Aku menikmati cinta yang bergejolak dalam hatiku. Aku juga menikmati
waktu penantianku hingga tiba waktunya kau dipertemukan denganku.
Hujan
nampaknya enggan pergi. Bahkan langit yang cerah berangsur berganti menjadi
langit yang mendung dengan lelehannya yang menghantam tanah bertubi-tubi. Adinda
Nurazizah masih tegap berdiri dengan rintikan hujan yang semakin deras. Adinda
bukan tak ingin beranjak dari derasnya hujan, hanya saja ia teringat akan
seseorang yang dulu selalu ada disampingnya. Seseorang yang selalu memarahinya
saat ia berada dibawah guyuran hujan. Seseorang yang mampu membuat ia menunggu
hingga bertahun-tahun.
Namun
kini, seseorang itu tidak lagi disampingnya. Seseorang itu telah pergi. Pergi
bersama hatinya yang ia bawa hingga meninggalkan setengah hatinya yang masih
terluka hingga saat ini. Tak terasa Adinda menitikan air matanya, meski tak
terlihat Adinda masih merasakan luka pada hatinya. Membuat air matanya mengalir
deras tanpa persetujuaan darinya.
Bukan,
bahkan perginya seseorang yang ia sayangi bukan karena orang lain, bahkan pergi
meninggalkan Adinda selamanya. Hanya saja, ada satu kewajiban yang harus ia
lakukan. Kewajiban yang harus meninggalkan Adinda untuk sementara. Masih
setengah jalan, Adinda harus bersabar menunggu seseorang itu kembali.
Adinda
menepi, hatinya sudah lelah begitu juga dengan dirinya. Pernah sesekali dalam
hatinya ia ingin menyudahi penantian ini. Namun, lagi-lagi batin nya menolak,
meminta Adinda untuk betahan.
Tahun
demi tahun Adinda lewati. Hingga sang waktu masih enggan mempertemukan Adinda
dengan sang pangeran. Hari ini adalah hari dimana seharusnya pemuda yang selama
ini ia tunggu-tunggu kembali ke indonesia. Namun, sampai sekarang, sampai senja
berganti malam. Pemuda itu masih enggan menampakan wajahnya.
Ah,
padahal sebelumnya ia berjanji akan bertemu disini. Tempat dimana dulu Adinda
dengan pemuda itu saling pamit diri. Meminta untuk pergi dan membuat Adinda
menunggu selama ini.
Sepinya
malam menyeka tawa dan air mata saat rindu mulai membelenggu jiwa. Tergambar
jelas gelak tawanya dalam benak Adinda.
Meminta hati meronta untuk menyudahi semua ini. Memupus duka yang kini
menyisakan duka dan air mata.
Adinda
beranjak pergi, udara malam tampaknya enggan untuk sejenak mengerti bahwa kali
ini Adinda sedang menanti. Jika seseorang itu tidak akan kembali, Adinda hanya
ingin melupakanya dengan sederhana seperti tatapan terakhir yang menyembunyikan
sedikit air mata diujung kelopak matanya.
Namun
langkah Adinda terhenti saat seseorang menahan dengan menggapai tanganya.
Tangan yang kokoh dan tangan yang selalu ia rindukan saat air mata yang
mengalir deras dipipinya ia sapu dengan tangan kokoh itu.
“Mengapa
pergi setelah lama menunggu hm?” Reihan dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi,
kulit yang semakin putih, tatapan yang semakin tajam dan oh jangan lupa
senyumanya, senyuman yang bisa membuat siapa saja langsung jatuh hati.
“Rei...
“maaf
telah lama membuatmu menunggu, wahai bidadari ku.”
Adinda
hanya diam saat Reihan mulai mendekatinya dan menarik tanganya kesuatu tempat.
Entahlah yang Adinda rasakan saat ini senang bercampur haru, penantianya selama
ini tidaklah sia-sia. Pendirianya akan takdir membuatnya tetap yakin bahwa
sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah kepadanya, Allah tidak akan
membiarkan seseorang yang ditakdirkanya menjadi milik orang lain.
Adinda
terhenyak saat sampai ditempat dimana Rei membawanya, disana sudah ada semua
yang selalu ada disampingnya. Kedua orang tua Adinda, kakak nya dan sahabat-sahabat
serta teman kampusnya dengan Reihan. Adinda tidak tau apa yang direncanakan
Reihan kali ini, yang pasti ini membuat jantung
Adinda berdegup 1000 kali lipat.
“Adinda
Nurazizah, kau pernah bilang bahwa Do’a adalah cara terbaik untuk memeluk
orang-orang tercinta saat tangan tidak bisa menyentuh mereka. Begitupun dengan
aku dan kamu, dengan Do’a yang engkau panjatkan atas semua penantian yang
engkau lakukan. Aku mencintaimu yang dengan seungguh-sungguh menghargai
perasaanku. Menjaganya hingga sang waktu mempertemukan aku kembali denganmu.
Setelah
melewati waktu yang tidak sebentar, sesampainya aku dinegara yang menjadi
identitasku dan sampai dikota kelahiranku. Aku menghampiri kedua orang tuamu,
meminta dirimu untuk menjadi pendampingku. Menjadi tulang rusuku. Menjadi
bidadari surgaku yang utuh dan halal, Maka dari itu. Adinda Nurazizah, maukah
kau menikah denganku?” Reihan dengan berlutut dihadapan Adinda dan memamerkan
cincin yang ia genggam untuk dipasang dijemari Adinda.
Adinda
hanya mengangguk bertanda bahwa ia bersedia menjadi pendamping Reihan hingga
maut memisahkan. Menjadikan Adinda bidadari surga yang bukan hanya didunia
namun di akhirat juga. Penantian Adinda mengajarkan kita bahwa waktu adalah
salah satu peran penting dalam menanti seseorang yang akan membawamu bahagia
didunia dan diakhirat. Menghadirkan seseorang yang mencintaimu dengan segala
kekurangamu. Melafalkan namamu didepan kedua orang tuamu. Hanya dalam hidup
terkadang memiliki pilihan, jika tidak mampu bertahan maka lupakan.
untuk melaksanakan ukuwah mari berteman FOLLOW - @Nurazizahindah. Syukran, kritik dan pesan silakan langsung mention ke Twitter ajah ya. dan Follow juga my Wattpad dengan user sama Nurazizahindah :)
Bagus ceritanya teteh
ReplyDelete