Monday, September 26, 2016

Cerpen Remaja - NATA, AKU PERGI (oleh:Indah Siti Nurazizah)



NATA, AKU PERGI ....

Original Image - Nurazizahindah

            “Mari kita akhiri hubungan ini. Kau bisa melepasku sekarang. Jangan mencari aku, cukup sampai disini.” Zein meninggalkan Renata yang lebih sering disebut Nata itu begitu saja. Nata hanya bisa diam, bahkan ia tidak tau apa alasan Zein kekasihnya yang sudah menemaninya selama 3 tahun memutuskan hubunganya begitu saja. 

            “Apa salahku! Jika pada akhirnya akan begini, mengapa kau menyukaiku dan menjagaku selama 3 tahun.” Nata dengan derai air mata yang menetes melalui kelopak matanya yang indah.

            “Bahkan orang yang sudah 10 tahun atau bahkan 1000 tahun berhubunganpun akan bisa pisah Nata.” Zein sembari terkekeh dan melanjutkan langkahnya meninggalkan Nata yang masih tak percaya dengan apa yang terjadi padanya di malam yang sunyi.


            “Baik, kau ingin mengakhiri hubungan ini? Baik! Kau ingin aku melepasmu? Aku  lakukan. Tapi, beri aku satu alasan mengapa kita pisah?”Nata yang kali ini sudah berada dihadapan Zein yang masih terlihat dingin.

            “Kau sudah tidak menarik lagi untuku, Nata.” 

            Bagai ditusuk ribuan pisau Nata ambruk ketika tau apa alasan Zein memutuskan hubunganya begitu saja. Ah, bahkan Nata merasa bahwa itu bukanlah suatu alasan mengapa Zein memutuskan hubungan denganya. Bahkan alasan itu begitu klasik. Pria yang selama ini dikenal tegas dan setia beralih menjadi pria yang memiliki lidah tajam yang menimbulkan luka menganga. 

            Nata hanya menatap punggung kekasihnya ah, lebih tepatnya mantan kekasihnya itu pergi menjauh darinya. Pandangan Nata buram saat sesuatu yang berasal dari matanya mengalir deras membasahi pipinya. Nata bahkan masih mengingat jelas, bahwa minggu lalu ia dengan Zein merayakan hari jadi mereka yang ke 3 tahun. Namun, semua itu sirna saat Zein memilih untuk pergi dari hati dan kehidupanya.

            ***

            “Nat, lo gapapakan? Wajah lo pucet banget?” Sandra dengan mengguncang-guncang tubuh Nata yang masih terlihat tegap dengan pandangan kosong.

            “Nata! Renata!! Wooooooy.! Wah sawan nih orang.” 

            Nata tetap diam dengan pandangan kosong dan wajah yang pucat dan oh jangan tanya lagi bagaimana rapuhnya hati Nata saat ini. Bahkan, lebih remuk dan kepingan kaca yang tak tersisa. Pada akhirnya air matalah yang menjelaskan betapa rapuhnya Renata saat ini. Menyadarkan Sandra bahwa, Nata hanya butuh waktu, waktu untuk memulihkan luka pada hatinya. Bahkan, jika bisa namun Sandra rasa tidak.

            “Lo kalau nangis, nangis aja nat. Jangan tanggung-tanggung, biar beban dihati lo setidaknya berkurang. Bahkan, dengan menceritakanya kepada seseorang akan lebih tenang. Kalau lo, butuh seseorang untuk menampung semua rasa sakit lo. Lo tinggal panggil gue okay.” Sandra yang kali ini lebih memilih meninggalkan Nata, dan beranjak pergi kekelas.

            Setelah kepergian Sandra, Nata menumpahkan semua tangisnya seperti anak kecil yang ingin dibelikan balon berbentuk hati. Jika jatuh cinta akan sesakit ini, mungkin Nata akan menghindarinya bahkan akan pura-pura tak merasakanya. Namun, begitulah hidup. Jika tidak merasakan dahulu rasa sakit, kelak mungkin ia tidak akan pernah tau bagaimana rasa sakit itu.

            1 bulan berlalu, Nata mencoba untuk bangkit. Salah satunya dengan mencoba melupakan Zein. Namun, semakin ia berusaha melupakannya. Semakin ia merindukan sosok Zein disisinya. Air mata itu kembali membasahi pipi Nata. Bahkan, luka yang seharusnya kering terkoyah kembali saat ia mencoba untuk menghapus semua tentang Zein dalam hidupnya.

            Nata melangkahkan kakinya dengan gontai. Langkahnya begitu berat tanpa Zein disisinya. Bahkan setelah ia lulus nanti. Ia dan Zein akan melanjutkan keperguruaan tinggi yang sama. Namun, nyatanya tidak. Semua impian dan harapan sirna ditelan rasa pahit yang membuat tangan tak kasat mata terus meremas hati Renata begitu saja.

            Langkah Nata terhenti saat, indra pendengaranya menangkap sebuah percakapan yang membuat hatinya semakin sesak. Air mata itu kembali jatuh tanpa komando apapun darinya. 

            “Kapan kau pergi, Zein?”

            “Besok pak, makanya saya mau pamit.”

           “Baik. Hati-hati disana. Semoga kau bahagia dinegri orang ya. Pesan Bapak hanya belajar yang benar. Jangan tinggalkan Sholatmu. Jika sudah sukses, jangan lupa Bapak hahhahaha.”

           “Baik pak, Saya akan belajar dengan giat disana. Doa Bapaklah salah satunya agar saya sukses dan dapat menjumpai Bapak dengan rasa bangga karena do’a Bapak.”

            Sekarang Renata tau, apa alasan sebenarnya Zein memutuskan hubunganya begitu saja. Tapi, mengapa ia tidak jujur saja saat itu. Jika ia akan pergi karena Sekolah keluar Negri, ia akan senang hati memutuskan hubunganya dengan Zein. Tidak dengan alasan, yang membuat hatinya remuk seperti kaca. 

            Kalau sudah begini, Nata tau dimana Zein sekarang berada. Atap. Ya Atap sekolahlah salah satu tempat favorit Zein dan Nata kala melapas Penat karena pelajaran maupun hubungan mereka. Namun, Nata sudah jarang ketempat itu, bukan. Bukan karena hubungan mereka yang sudah berakhir. Hanya saja, karena luka dihatinya masih saja belum mengiring. Ia masih belum sanggup mengenang semua kenangan indah saat bersama Zein diatap sana.

            Benar, Nata menemukan Zein tengah duduk menikmati angin yang membelai wajahnya yang sendu. Punggung itu rasanya Nata merindukan pungguh kokoh itu. Punggung yang selalu menahanya dikala sinar mata hari menerpa tubuh Nata. Semua, semua yang berada dalam diri  Zein, Nata merindukannya. Amat sangat merindukanya. 

            “Mengapa tidak jujur dari Awal. Jika kau memutuskan hubungan karena sekolah keluar negri.” Nata yang kali ini duduk disamping Zein tanpa berani menatap wajah Zein.

            Zein tetap diam. Ia memalingkah wajahnya, saat Nata mengajukan pertanyaan yang sebenarnya bisa Zein jawab dengan cepat. Namun, ada tangan tak kasat mata yang meremas hatinya dengan kuat. jika boleh jujur Zeinpun tak sanggup jika harus melihat wajah Nata. Wajah yang takan ia lihat lagi. Wajah yang dulu selalu membuat bibir Zein tertarik kesamping membuat sebuah senyuman yang indah. 

            “Kenapa? Tak mau jawab hm?” Nata yang berusaha untuk tidak menjatuhkan butir air matanya.

            “Pergilah, aku ingin sendiri.” Zein dengan beranjak pergi.

            “Pada akhirnya, siapa yang akan datang kembali. Jika harus pergi, aku akan pergi. Jika kau minta aku kembali, mungkin akan aku pikir dua kali. Kau harus tau Zein, aku dingin diterpa angin yang tak pernah ku ingin. Berusaha kembali pada diriku yang dulu, yang belum merasakan sakit sesakit ini. Melupakan segara rasa kecewa dengan seoles senyum simpul dalam luka. Kan kujalani jalanku kini tanpamu sebagai arah. Mencoba pulang menuju tempatku yang selanjutnya. Kelak jangan salahkan aku, jika aku menemukan rumah yang baru. Rumah yang menjadi singgahan setelah aku terusir dari rumahmu yang nyaman itu.
            Jika kelak aku dipertemukan kembali denganmu. Aku ingin kau seperti mentari dipagi hari, menghangatkan ku di dinginya malam. Merangkulku dan menghapus setiap butir air mataku. Kini, biarlah aku mencoba melepasmu pergi. Jika tidak bisa, aku ingin seseorang yang sama sepertimu. Meski tidak ada seorangpun yang ingin disamakan. Tapi, selagi aku masih mengharapkamu. Aku akan menunggumu.” Nata, dengan embun diwajahnya. Dadanya semakin sesak saat suara langkah kaki semakin menjauh. Nata hanya ingin sekali saja, ia melihat kembali senyum yang dulu ia dapat dengan mudah apa itu salah.

            Nata mengahamburkan semua tangisnya, memecah kesunyian disiang hari yang panas. Membelah langit menjadi mendung dan mengeluarkan tangisnya. Sekali lagi, Nata hanya ingin mendengar suara Zein sebelum ia pergi. Hanya itu, Nata hanya ingin dengar kembali kata-kata yang selalu membuat dirinya jatuh cinta lagi dan lagi. Hanya itu, cukup.

***
            Nata menatap punggung seoarang pemuda yang hendak menjauh darinya. Tanpa sepatah katapun meninggalkanya. Berangjak jauh semakin jauh, meninggalkan kenangan disetiap langkahnya. Meninggalkan luka yang menganga. 

            Nata membalikan tubuhnya, tak ingin melihat punggung itu semakin jauh dari pandanganya. Nata perlahan melangkah meninggalkan punggung itu yang mungkin sudah menghilang dibalik tembok pembatas antara penumpang dan pengantar. Cukup, air matanya sudah habis menangisi pemuda yang bahkan tak meninggalkan sepatah katapun untuknya.

            Hingga...

            “Maukah kamu menunggu? Ketika aku tidak bisa menjadi apa yang seperti orang lain lakukan. Aku akan datang dan menjadi mentari dipagi hari seperti yang kau minta. Menghangatkanmu, juga akan menghapus air matamu. Untuk kali ini, izinkan aku pergi. Aku mohon, jangan mencari rumah yang lain. Tetap dirumahku. Jikalau engkau pergi kau tau kemana hatimu akan kembali. Aku yakin, ketika  hari yang ditetapkan-Nya datang, kita kan dipertemukan. Rencana Allah itu lebih indah dari apa yang kita bayangkan, dan inilah cara Allah melindungi dirimu. Bersamamu, seperti berada ditengah danau dan ditemani alunan suara indah dari yang terindah. 

Walaupun hanya dua detik kata-kata yang keluar dari mulutmu tentang aku. Ketika kita jauh, setiap detiknya aku akan selalu ingat. Terimakasih untukmu, karenamu, hari-hariku selalu diwarnai dengan sebuah senyuman simpul. Aku pergi Nata, jaga dirimu baik-baik. Aku akan tetap menjagamu dalam doa-doaku. Sampai bertemu kembali, dirumah yang sama dan dengan penghuni yang sama. Nata, aku pergi.” 

            Perlahan genggaman tangan itu melonggar, meninggalkan kerinduaan akan kehangatanya. Memecah tangis diantara luka yang mendalam. Selamat tinggal Zein, tetaplah bahagia dinegri orang. Hati ini akan tetap ada dirumahmu. Ia enggan beranjak sampai kau Pulang.-Nata

SELESAI
Bandung, 25 September 2016
Indah Siti Nurazizah
untuk melaksanakan ukuwah dan talisilahturahmi mari berteman FOLLOW - @Nurazizahindah. Syukran, kritik dan pesan silakan langsung mention ke Twitter ajah ya.

No comments:

Post a Comment

Kelak, Allah akan hadirkan dia diwaktu yang tepat

cover image by Nurazizahindah Indah Siti Nurazizah   Aku hanya menjadi pereda rasa sakitnya,  bukan menjadi obat penyembuh dari...