NATA,
AKU PERGI ....
Original Image - Nurazizahindah |
“Mari kita akhiri hubungan ini. Kau bisa melepasku
sekarang. Jangan mencari aku, cukup sampai disini.” Zein meninggalkan Renata
yang lebih sering disebut Nata itu begitu saja. Nata hanya bisa diam, bahkan ia
tidak tau apa alasan Zein kekasihnya yang sudah menemaninya selama 3 tahun
memutuskan hubunganya begitu saja.
“Apa salahku! Jika pada akhirnya akan begini, mengapa kau
menyukaiku dan menjagaku selama 3 tahun.” Nata dengan derai air mata yang
menetes melalui kelopak matanya yang indah.
“Bahkan orang yang sudah 10 tahun atau bahkan 1000 tahun
berhubunganpun akan bisa pisah Nata.” Zein sembari terkekeh dan melanjutkan
langkahnya meninggalkan Nata yang masih tak percaya dengan apa yang terjadi
padanya di malam yang sunyi.
“Baik, kau ingin mengakhiri hubungan ini? Baik! Kau ingin
aku melepasmu? Aku lakukan. Tapi, beri
aku satu alasan mengapa kita pisah?”Nata yang kali ini sudah berada dihadapan
Zein yang masih terlihat dingin.
“Kau sudah tidak menarik lagi untuku, Nata.”
Bagai ditusuk ribuan pisau Nata ambruk ketika tau apa
alasan Zein memutuskan hubunganya begitu saja. Ah, bahkan Nata merasa bahwa itu
bukanlah suatu alasan mengapa Zein memutuskan hubungan denganya. Bahkan alasan
itu begitu klasik. Pria yang selama ini dikenal tegas dan setia beralih menjadi
pria yang memiliki lidah tajam yang menimbulkan luka menganga.
Nata hanya menatap punggung kekasihnya ah, lebih tepatnya
mantan kekasihnya itu pergi menjauh darinya. Pandangan Nata buram saat sesuatu
yang berasal dari matanya mengalir deras membasahi pipinya. Nata bahkan masih
mengingat jelas, bahwa minggu lalu ia dengan Zein merayakan hari jadi mereka
yang ke 3 tahun. Namun, semua itu sirna saat Zein memilih untuk pergi dari hati
dan kehidupanya.
***
“Nat, lo gapapakan? Wajah lo pucet banget?” Sandra dengan
mengguncang-guncang tubuh Nata yang masih terlihat tegap dengan pandangan
kosong.
“Nata! Renata!! Wooooooy.! Wah sawan nih orang.”
Nata tetap diam dengan pandangan kosong dan wajah yang pucat
dan oh jangan tanya lagi bagaimana rapuhnya hati Nata saat ini. Bahkan, lebih
remuk dan kepingan kaca yang tak tersisa. Pada akhirnya air matalah yang
menjelaskan betapa rapuhnya Renata saat ini. Menyadarkan Sandra bahwa, Nata
hanya butuh waktu, waktu untuk memulihkan luka pada hatinya. Bahkan, jika bisa
namun Sandra rasa tidak.
“Lo kalau nangis, nangis aja nat. Jangan
tanggung-tanggung, biar beban dihati lo setidaknya berkurang. Bahkan, dengan
menceritakanya kepada seseorang akan lebih tenang. Kalau lo, butuh seseorang
untuk menampung semua rasa sakit lo. Lo tinggal panggil gue okay.” Sandra yang
kali ini lebih memilih meninggalkan Nata, dan beranjak pergi kekelas.
Setelah kepergian Sandra, Nata menumpahkan semua
tangisnya seperti anak kecil yang ingin dibelikan balon berbentuk hati. Jika
jatuh cinta akan sesakit ini, mungkin Nata akan menghindarinya bahkan akan
pura-pura tak merasakanya. Namun, begitulah hidup. Jika tidak merasakan dahulu
rasa sakit, kelak mungkin ia tidak akan pernah tau bagaimana rasa sakit itu.
1 bulan berlalu, Nata mencoba untuk bangkit. Salah
satunya dengan mencoba melupakan Zein. Namun, semakin ia berusaha melupakannya.
Semakin ia merindukan sosok Zein disisinya. Air mata itu kembali membasahi pipi
Nata. Bahkan, luka yang seharusnya kering terkoyah kembali saat ia mencoba
untuk menghapus semua tentang Zein dalam hidupnya.
Nata melangkahkan kakinya dengan gontai. Langkahnya begitu
berat tanpa Zein disisinya. Bahkan setelah ia lulus nanti. Ia dan Zein akan
melanjutkan keperguruaan tinggi yang sama. Namun, nyatanya tidak. Semua impian
dan harapan sirna ditelan rasa pahit yang membuat tangan tak kasat mata terus meremas
hati Renata begitu saja.
Langkah Nata terhenti saat, indra pendengaranya menangkap
sebuah percakapan yang membuat hatinya semakin sesak. Air mata itu kembali
jatuh tanpa komando apapun darinya.
“Kapan kau pergi, Zein?”
“Besok pak, makanya saya mau pamit.”
“Baik. Hati-hati disana. Semoga kau bahagia dinegri orang
ya. Pesan Bapak hanya belajar yang benar. Jangan tinggalkan Sholatmu. Jika
sudah sukses, jangan lupa Bapak hahhahaha.”
“Baik pak, Saya akan belajar dengan giat disana. Doa
Bapaklah salah satunya agar saya sukses dan dapat menjumpai Bapak dengan rasa
bangga karena do’a Bapak.”
Sekarang Renata tau, apa alasan sebenarnya Zein
memutuskan hubunganya begitu saja. Tapi, mengapa ia tidak jujur saja saat itu.
Jika ia akan pergi karena Sekolah keluar Negri, ia akan senang hati memutuskan
hubunganya dengan Zein. Tidak dengan alasan, yang membuat hatinya remuk seperti
kaca.
Kalau sudah begini, Nata tau dimana Zein sekarang berada.
Atap. Ya Atap sekolahlah salah satu tempat favorit Zein dan Nata kala melapas
Penat karena pelajaran maupun hubungan mereka. Namun, Nata sudah jarang
ketempat itu, bukan. Bukan karena hubungan mereka yang sudah berakhir. Hanya
saja, karena luka dihatinya masih saja belum mengiring. Ia masih belum sanggup
mengenang semua kenangan indah saat bersama Zein diatap sana.
Benar, Nata menemukan Zein tengah duduk menikmati angin
yang membelai wajahnya yang sendu. Punggung itu rasanya Nata merindukan pungguh
kokoh itu. Punggung yang selalu menahanya dikala sinar mata hari menerpa tubuh
Nata. Semua, semua yang berada dalam diri
Zein, Nata merindukannya. Amat sangat merindukanya.
“Mengapa tidak jujur dari Awal. Jika kau memutuskan
hubungan karena sekolah keluar negri.” Nata yang kali ini duduk disamping Zein
tanpa berani menatap wajah Zein.
Zein tetap diam. Ia memalingkah wajahnya, saat Nata
mengajukan pertanyaan yang sebenarnya bisa Zein jawab dengan cepat. Namun, ada
tangan tak kasat mata yang meremas hatinya dengan kuat. jika boleh jujur
Zeinpun tak sanggup jika harus melihat wajah Nata. Wajah yang takan ia lihat
lagi. Wajah yang dulu selalu membuat bibir Zein tertarik kesamping membuat
sebuah senyuman yang indah.
“Kenapa? Tak mau jawab hm?” Nata yang berusaha untuk
tidak menjatuhkan butir air matanya.
“Pergilah, aku ingin sendiri.” Zein dengan beranjak
pergi.
“Pada akhirnya, siapa yang akan datang kembali. Jika
harus pergi, aku akan pergi. Jika kau minta aku kembali, mungkin akan aku pikir
dua kali. Kau harus tau Zein, aku dingin diterpa angin yang tak pernah ku
ingin. Berusaha kembali pada diriku yang dulu, yang belum merasakan sakit
sesakit ini. Melupakan segara rasa kecewa dengan seoles senyum simpul dalam
luka. Kan kujalani jalanku kini tanpamu sebagai arah. Mencoba pulang menuju
tempatku yang selanjutnya. Kelak jangan salahkan aku, jika aku menemukan rumah
yang baru. Rumah yang menjadi singgahan setelah aku terusir dari rumahmu yang
nyaman itu.
Jika kelak aku dipertemukan kembali denganmu. Aku ingin
kau seperti mentari dipagi hari, menghangatkan ku di dinginya malam.
Merangkulku dan menghapus setiap butir air mataku. Kini, biarlah aku mencoba
melepasmu pergi. Jika tidak bisa, aku ingin seseorang yang sama sepertimu.
Meski tidak ada seorangpun yang ingin disamakan. Tapi, selagi aku masih
mengharapkamu. Aku akan menunggumu.” Nata, dengan embun diwajahnya. Dadanya
semakin sesak saat suara langkah kaki semakin menjauh. Nata hanya ingin sekali
saja, ia melihat kembali senyum yang dulu ia dapat dengan mudah apa itu salah.
Nata mengahamburkan semua tangisnya, memecah kesunyian
disiang hari yang panas. Membelah langit menjadi mendung dan mengeluarkan
tangisnya. Sekali lagi, Nata hanya ingin mendengar suara Zein sebelum ia pergi.
Hanya itu, Nata hanya ingin dengar kembali kata-kata yang selalu membuat
dirinya jatuh cinta lagi dan lagi. Hanya itu, cukup.
***
Nata menatap punggung seoarang pemuda yang hendak menjauh
darinya. Tanpa sepatah katapun meninggalkanya. Berangjak jauh semakin jauh,
meninggalkan kenangan disetiap langkahnya. Meninggalkan luka yang menganga.
Nata membalikan tubuhnya, tak ingin melihat punggung itu
semakin jauh dari pandanganya. Nata perlahan melangkah meninggalkan punggung
itu yang mungkin sudah menghilang dibalik tembok pembatas antara penumpang dan
pengantar. Cukup, air matanya sudah habis menangisi pemuda yang bahkan tak
meninggalkan sepatah katapun untuknya.
Hingga...
“Maukah kamu menunggu? Ketika aku tidak bisa menjadi apa
yang seperti orang lain lakukan. Aku akan datang dan menjadi mentari dipagi
hari seperti yang kau minta. Menghangatkanmu, juga akan menghapus air matamu.
Untuk kali ini, izinkan aku pergi. Aku mohon, jangan mencari rumah yang lain.
Tetap dirumahku. Jikalau engkau pergi kau tau kemana hatimu akan kembali. Aku
yakin, ketika hari yang ditetapkan-Nya
datang, kita kan dipertemukan. Rencana Allah itu lebih indah dari apa yang kita
bayangkan, dan inilah cara Allah melindungi dirimu. Bersamamu, seperti berada
ditengah danau dan ditemani alunan suara indah dari yang terindah.
Walaupun
hanya dua detik kata-kata yang keluar dari mulutmu tentang aku. Ketika kita
jauh, setiap detiknya aku akan selalu ingat. Terimakasih untukmu, karenamu,
hari-hariku selalu diwarnai dengan sebuah senyuman simpul. Aku pergi Nata, jaga
dirimu baik-baik. Aku akan tetap menjagamu dalam doa-doaku. Sampai bertemu
kembali, dirumah yang sama dan dengan penghuni yang sama. Nata, aku pergi.”
Perlahan genggaman tangan itu melonggar, meninggalkan
kerinduaan akan kehangatanya. Memecah tangis diantara luka yang mendalam.
Selamat tinggal Zein, tetaplah bahagia dinegri orang. Hati ini akan tetap ada
dirumahmu. Ia enggan beranjak sampai kau Pulang.-Nata
SELESAI
Bandung, 25
September 2016
Indah Siti
Nurazizah
untuk melaksanakan ukuwah dan talisilahturahmi mari berteman FOLLOW - @Nurazizahindah. Syukran, kritik dan pesan silakan langsung mention ke Twitter ajah ya.
No comments:
Post a Comment